penanganan kusta di tengah pandemi (design by : Canva) |
Pandemi mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, termasuk di bidang kesehatan. Adanya pembatasan mobilitas membuat pasien yang seharusnya rutin memperoleh pengobatan, menjadi tidak bisa mendapatkan obat dan juga perawatan.
Hal ini juga dialami oleh para penderita kusta yang umumnya terdapat di daerah terpencil. Yang terpaksa harus putus obat dan tidak memperoleh layanan kesehatan.
Layanan untuk penangan kusta memang khusus. Selain pengobatan yang dilakukan tidak boleh putus, pemeriksaannya pun harus dilakulan langsung dan dari jarak dekat.
Selain pemeriksaan, perlu dilakukan pula pelacakan untuk mengetahui ada tidaknya penularan. Hal ini dimaksudkan agar jika terjadi penularan segera bisa dilakukan penanganan untuk mencegah keparahan / kecacatan.
Diskusi tentang lika-liku peran dokter di masa pandemi |
Adanya pembatasan mobilitas menyebabkan pemeriksaan dan pelacakan kasus menjadi sulit dilakukan. Akibatnya temuan kasus baru pun menjadi menurun dan angka keparahan atau kecacatan menunjukkan peningkatan.
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan dan harus dicarikan jalan keluarnya. Dan hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2021 lalu Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia telah membahasnya dalam diskusi dengan tema "Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi" yang disiarkan melalui live streaming Youtube KBR, pukul 09.00-10.00 WIB.
Tema ini diangkat untuk memperingati hari dokter nasional yang dirayakan setiap tanggal 24 Oktober. Dalam diskusi tersebut, hadir sebagai nara sumber dr. Ardiansyah - Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dr. Udeng Daman - Technical Advisor NLR Indonesia, dengan dipandu Rizal Wijaya sebagai host.
Nara sumber dan host diskusi ruang publik KBR (sumber : Youtube KBR) |
Wilayah Endemi Kusta Di Indonesia
Mengawali diskusi, dr. Udeng dari NLR Indonesia memberikan penjelasan mengenai wilayah endemi kusta di Indonesia. Dr. Udeng menyampaikan, "Berdasar data Kemenkes, ada 110 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta yang tersebar di 21 propinsi. Di mana terdapat 7 propinsi yang masih tinggi angka prevalensi kusta, dengan perbandingan angka kejadian 1 dari 10.000 penduduk. Propinsi tersebut diantaranya adalah Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Maluku Utara."
Lebih lanjut, dr. Udeng menjelaskan berbagai faktor yang menjadi penyebab eliminasi di setiap daerah berbeda-beda. Diantaranya adalah kondisi sanitasi rumah, sanitasi lingkungan, sosial dan ekonomi, kebiasaan perilaku hidup sehat, dan jumlah kepadatan penduduk.
Letak wilayah juga mempengaruhi. Tidak jarang wilayah endemi kusta berada di tempat terpencil sehingga menyulitkan akses bagi tenaga kesehatan untuk menjangkau.
dr. Udeng Daman, dari NLR Indonesia (sumber : YouTube KBR) |
Tantangan Penanganan Kusta di Indonesia
Kusta adalah penyakit tropik yang terabaikan. Wilayah endemi yang biasanya berada di daerah terpencil, menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab sulitnya penanganan terhadap penyakit kusta.
Apalagi berdasar data, jumlah dokter di Indonesia masih jauh dari ideal. Mengenai rasio ideal jumlah dokter yang disarankan, Dr. Ardiansyah dari IDI menjelaskan, "Jika kita menggunakan rekomendasi dari WHO, maka rasio ideal jumlah dokter adalah 1 : 1000."
Jadi untuk negara Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 270 juta, maka idealnya kita memiliki tenaga dokter sekitar 270.000.
Sedangkan untuk saat ini kita baru memiliki sekitar 150.000 dokter umum. Sehingga memang masih ada kekurangan. Menurut penjelasan dr. Ardi, hal yang menjadi penyebab kurangnya jumlah dokter saat ini salah satunya adalah panjangnya proses pendidikan di kedokteran. Mulai dari sarjana kedokteran, kemudian coas, dan harus magang.
Sehingga hal tersebut menyebabkan waktu kelulusan masing-masing orang tidak sama. Meskipun jika dirata-rata jumlah lulusan sarjana kedokteran setiap tahunnya mencapai 11 - 13 ribu orang.
Tetapi ini tidak dapat langsung diterjunkan ke masyarakat. Selain itu banyaknya dokter yang gugur karena pandemi juga menjadi salah satu faktor kurangnya dokter yang menangani pasien kusta.
dr. Ardiansyah, dari Ikatan Dokter Indonesia (sumber : YouTube KBR) |
Distribusi tenaga dokter juga masih menjadi persoalan di lapangan. Hal-hal yang menjadi kendala penempatan tenaga dokter di wilayah terpencil adalah jaminan keamanan, kesejahteraan, dan juga fasilitas pendidikan. Dan ini masih menjadi PR yang perlu turun tangan pemerintah juga.
Kondisi tersebut sejalan dengan yang disampaikan dr. Udeng dari NLR Indonesia. Di wilayah endemi kusta yang ada di daerah terpencil, sering tidak tersedia tenaga dokter. Sehingga akan kesulitan ketika harus memberikan rujukan terhadap pasien yang menunjukkan reaksi selama pengobatan.
Perlu diketahui, pengobatan kusta butuh waktu yang lama, sekitar 6 hingga 12 bulan. Terkadang dalam pengobatan muncul reaksi sehingga perlu rujukan untuk penanganan lebih lanjut.
Oleh karena itu Untuk mengantisipasinya perlu tenaga medis (bukan dokter) yang mumpuni. Yang dapat menangani kusta hingga tuntas. Sehingga sangat perlu dilakukan peningkatan kapasitas tenaga medis melalui workshop atau pelatihan.
Menjawab pertanyaan dari peserta diskusi tentang tempat pengobatan kusta, dr. Udeng menjelaskan bahwa pelayanan pengobatan kusta bisa ditangani di semua faskes. Dalam hal ini Puskesmas yang memang ditunjuk sebagai tempat pengobatan.
Dan semua dokter harus bisa mendiagnosa kusta. Cuma untuk pengobatan tetap dirujuk ke Puskesmas. Pasien kusta harus diperiksa secara langsung untuk penegakan diagnosa. Seperti adanya gangguan mati rasa atau gangguan fungsi syaraf lainnya.
Menanggapi pertanyaan yang sama, dr. Ardi menjelaskan, setiap dokter harus bisa menangani kusta. Tetapi ada hal-hal teknis yang menghambat, terutama adanya stigma. Baik itu dari masyarakat atau dari tenaga medis sendiri. Oleh karena itu dr. Ardi menegaskan tugas IDI untuk menjaga kompetensi dari dokter dan memastikan sumpah dokter ditegakkan.
Dampak Pandemi Terhadap Penanganan Kusta dan Solusinya
Kusta membutuhkan penanganan yang komprehensif. Pemeriksaannys pun harus dilakukan secara langsung. Karena pandemi, pelayanan untuk kusta menjadi terbatasi. Selama ini yang dapat dilakukan adalah pemberian pengobatan secara door to door, dan komunikasi via WA.
Rekomendasi NLR untuk Penguatan Penanganan Kusta di Daerah Endemi
- Distribusi dokter di daerah endemi harus ada
- Peningkatan kapasitas dokter yang ditugaskan di daerah endemi penting dilakukan
- Dokter yang ditugaskan harus proaktif mengikuti pelatihan atau workshop tentang kusta yang diadakan oleh Pemda.
- Case Management harus ditegakkan. Mulai dari pemeriksaan, pengobatan, dan pelacakan.
- Ciri-ciri awal tentang kusta harus benar-benar dipahami oleh dokter yang ditugaskan (self edukasi).
Langkah-langkah yang dilakukan oleh IDI
- IDI bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas dokter, dan memastikan penegakan sumpah dokter.
- Melakukan kemitraan dengan pemerintah untuk menentukan kebijakan tentang kesehatan.
- Melakukan kemitraan dengan pihak lain termasuk NGO
- Edukasi dan pemberdayaan kepada masyarakat tentang kesehatan
Sedangkan untuk target eliminasi kusta di tahun 2024, NLR Indonesia optimis dapat terlaksana. Tentunya dengan dukungan semua pihak untuk mewujudkan zero transmisi, zero disabiliti, dan zero stigma.
Dalam hal ini NLR Indonesia bermitra dengan pemerintah, stake holder, tokoh agama, dan juga tokoh potensial di masyarakat agar penanganan kusta menjadi prioritas. Semoga Indonesia bisa segera terbebas dari kusta, aamiin...
Posting Komentar
Posting Komentar