diskusi ruang publik KBR dan NLR Indonesia mengenai kusta (sumber : KBR) |
Di beberapa daerah di Indonesia, penyakit kusta masih menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian dan penanganan. Tingginya angka penderita kusta dan disabilitas karena kusta sebenarnya bukan disebabkan karena penyakit ini sulit diobati. Namun karena kurangnya akses layanan kesehatan yang layak dan minimnya informasi terkait tata cara perawatan dan penanganan pasien kusta.
Hal ini disebabkan karena tidak semua unit layanan kesehatan memahami informasi tentang kusta. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya stigma terhadap kusta bahkan di kalangan tenaga kesehatan itu sendiri.
Akibatnya orang dengan kusta tidak mendapatkan layanan yang optimal dan enggan untuk berobat. Persoalan ini menyebabkan keadaan pasien kusta semakin parah dan berisiko mengalami kecacatan. selain itu potensi penularan kusta kepada orang-orang di sekitarnya juga semakin besar.
Kondisi ini tentu menyulitkan upaya untuk mewujudkan Indonesia bebas kusta sebagaimana yang ditargerkan WHO pada tahun 2030 nanti. Oleh karena itu kantor berita KBR bersama NLR Indonesia pada hari Kamis, 28 April 2022 lalu membahasnya dalam diskusi #SuarauntukIndonesiaBebasKusta (SUKA) dengan tema "Dinamika Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas Pada Kusta di Lapangan"
Host dan narasumber (doc.pri) |
Acara ini disiarkan secara langsung di 100 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia, dan bisa diikuti melalui live streaming via youtube Berita KBR. Dalam acara yang dipandu oleh Ines Nirmala tersebut hadir dua orang nara sumber. Yaitu dr. M. Riby Machmoed MPH (Technical Advisor Program Leprosy Control NLR Indonesia) dan Sierli Natar, S. Kep (Wasor TB/Kusta Dinkes Kota Makassar). Apa saja bahasannya, yuk, disimak ya..
Kusta Dan Stigma
Penyakit kusta adalah penyakit yang sudah sejak dulu ada. Penyakit ini menjadi susah penanganannya disebabkan adanya stigma. Hal ini ditegaskan oleh dr. M. Riby Machmoed, MPH yang menyatakan bahwa, "Stigma yang terjadi pada penderita kusta mempengaruhi pengobatan kusta." Dampak dari stigma berpengaruh kepada proses penanganan kusta, karena menyebabkan :
- Orang yang terkena kusta menjadi malu untuk mengakui kalau terkena kusta. Sehingga enggan untuk berobat.
- Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena kusta juga cenderung menutupi karena malu, bahkan tidak jarang ikut mengucilkan penderita kusta.
- Tenaga kesehatan yang belum paham tentang kusta turut memberikan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan
- Orang-orang atau masyarakat sekitar yang cenderung menjauhi dan mengucilkan penderita kusta.
dr. M. Riby Machmoed MPA dari NLR Indonesia (doc.pri) |
Stigma dan Fakta Tentang Kusta
Berikut beberapa stigma dan fakta tentang kusta yang selama ini ada di masyarakat :
- Kusta adalah penyakit kutukan. Faktanya kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang bisa menjangkiti siapa saja.
- Kusta tidak dapat disembuhkan, faktanya kusta dapat diobati dengan terapi antibiotik.
- Kusta mudah menular, bahkan hanya dengan sentuhan. Faktanya kusta susah untuk menular. Untuk tertular, seseorang harus kontak erat dengan penderita selama 20 jam dalam waktu paling tidak 1 minggu. Penularan kusta juga bukan melalui sentuhan, melainkan lewat udara yaitu melalui pernafasan. Untuk memutus rantai penularan, bagi pasien diberikan terapi obat dengan metode MDT (Multi drugs Therapy) sedang bagi keluarga pasien diberikan obat rifampicin dosis tunggal agar tidak tertular.
Ibu Sierli Natari juga menyatakan adanya stigma turut menghambat dilakukannya pengobatan. Sehingga hal pertama yang dilakukan oleh pendamping ketika menemukan pasien kusta adalah memberikan motivasi dan pengertian baik kepada pasien maupun keluarga bahwa stigma itu tidak benar adanya.
Dengan motivasi dan pendampingan yang diberikan oleh tenaga kesehatan biasanya pasien dan keluarga bisa menerima dan mau melakukan pengobatan.
Kondisi Kusta di Indonesia
Saat ini kondisi kusta di Indonesia mengalami penurunan tapi kurang signifikan. Berdasar data, jumlah tertinggi kusta ada di propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, JawaTengah, dan Papua barat.
Namun jika dibanding jumlah penduduk, prevalensi tertinggi penyakit kusta ada di Papua Barat, disusul Papua. Suatu daerah dikatakan endemi kusta jika mempunyai indikasi : prevalensi rate kasus kusta diatas 1 per 10.000 penduduk, terdapat penemuan kasus baru 5 per 100.000 penduduk, terjadi angka kecacatan di atas 5%, dan angka penularan pada anak di atas 5%.
Perawatan diri bagi penderita kusta
Menurut penjelasan Ibu Sierli, agar penyakit kusta tidak semakin parah dan kecacatan bisa dicegah, maka penderita kusta perlu memahami bagaimana perawatan diri terhadap penyakitnya. Hal ini terutama dilakukan kepada pasien yang mengalami kelainan fungsi syaraf, berupa mati rasa dan penebalan pada kulit.
Ibu Sierli Natari Wasor TB dan Kusta dari Dinkes Makassar (doc.pri) |
Perawatan yang dilakukan meliputi : perendaman di air biasa selama 20 menit, penggosokan dengan batu apung, dan pengolesan dengan minyak kelapa pada daerah yang mengalami penebalan. Jika ada luka, harus ditutup dengan kain kasa atau kain perca.
Dr Riby juga menambahkan, pada intinya ada 3 hal yang harus dilakukan secara rutin. Yakni memeriksa, merawat, dan melindungi kulit yang terindikasi terkena kusta dan mengalami luka. Kemandirian dari pasien kusta dalam melakukan perawatan akan memininalisir terjadinya kecacatan akibat kusta.
Perawatan diri yang dilakukan tergantung tingkat kecacatan. Perawatan tersebut harus dilakukan seumur hidup. Oleh karena itu penting menemukan dan mengobati pasien kusta sejak dini agar kecacatan dapat diminimalisir.
Tingkat Kecacatan Pada Penderita Kusta
Tingkat kecacatan pada penderita kusta dibedakan menjadi dua. Yakni :
Kecacatan Tingkat 1
Kecacatan pada tingkat ini merupakan kecacatan yang tidak nampak. Masih berupa hilangnya rasa (mati rasa). Meskipun demikian ini juga harus dirawat.
Karena mati rasa yang terjadi bisa menyebabkan munculnya luka yang tidak diketahui karena tidak terasa sakit, yang jika dibiarkan bisa menyebabkan keparahan.
Kecacatan Tingkat 2
Pada tingkat ini kecacat yang terjadi terlihat jelas. Seperti tangan atau kaki yang bengkok atau kelopak mata tidak bisa menutup.
Ciri Penyakit Kusta
Kusta semakin mudah diobati jika ditemukan sejak dini. Beberapa ciri penyakit kusta yang harus diketahui adalah :
- Ada bercak putih atau kemerahan yang tidak gatal atau tidak sakit
- Ada kelemahan pada kaki atau tangan, dan juga kesulitan membuka mata.
- Terjadi reaksi seperti demam dan panas, dan mulai timbul rasa sakit pada persendian
Pengobatan Kusta
Pengobatan kusta harus dilakukan sampai tuntas. Minimal 6 bulan hingga 1 tahun tergantung jenis kusta yang diderita. Dan harus selalu konsultasi dengan petugas kesehatan untuk mencegah potensi kecacatan.
Saat ini pengobatan kusta dapat diperoleh secara gratis tanpa pungutan biaya. Untuk keberhasilan pengobatan terutama mencegah kecacatan, perawatan diri secara mandiri harus rutin dilakukan. Sehingga dukungan keluarga sangat perlu diberikan. Bagi tenaga kesehatan juga perlu untuk terus melakukan pemantuan terhadap indikasi atau gejala kusta pada pasien.
Penutup
Kusta adalah masalah kita bersama. Untuk memberantasnya perlu kerjasama dari pasien, keluarga, tenaga kesehatan, dan juga masyarakat. Masing-masing dari kita bisa turut berkontribusi dengan memberi pemahaman yang benar tentang kusta dan menghilangkan stigma. Agar penderita kusta dapat memperoleh haknya memperoleh pengobatan, dan orang yang pernah mengalami kusta atau OYPMK tetap percaya diri berbaur dengan masyarakat serta mengembangkan potensinya. Semoga dengan kerjasama kita semua, target 2030 Indonesia bebas kusta bisa tercapai.
Posting Komentar
Posting Komentar